Hal yang harus kau lakukan sebagai seorang anak adalah
mendengarkan apa yang orang tuamu katakan. Percayalah mereka tahu tentang apa
yang mereka sampaikan, sudah acap kali mereka merasakan dan mengkajinya ulang
agar tersisa hanya yang terbaik bagimu. Tak salah jika dirimu merasa sesak oleh
permintaan mereka, tapi yakinlah ada hal buruk yang hendak mereka jauhkan
darimu. Tetap ada bagimu kuasa menanyakan “kenapa?” jangan langsung membantah,
pikirkan saja dulu.
Bahkan ada alasan ketika orang tuamu memintamu untuk tidak
berpacaran ketika kau sudah merasa cukup umur. Mereka lebih mengenal dirimu,
anaknya. Ada perasaan dan hatimu yang selalu ingin mereka lindungi. Kau belum
banyak tahu asam cuka cinta.
Dan hal inilah yang paling aku sesali saat ini.
Harusnya aku masih berdiri sumringah menatap langit gelap
berbintang, bersorak-sorai dalam riuh hujan. Bukan mereka-reka kisah yang telah
usang dan menjadikannya kian menyayat dengan derai air mata. Mestinya aku
menurut saja tentang fokus sekolah dan tidak berpacaran terlebih dahulu. Aku
hanya berpikir bagaimana menghapus ingatanku tentang semua ini. Jika dengan
membenturkan kepala aku bisa menghapusnya, aku sudah melakukannya sejak dulu. Kisah
dengan folder cinta itu terkunci di kepalaku, filenya terhambur begitu saja jika
dipicu suasana serupa masa lalu.
Aku benar-benar ingin memformat isi kepalaku tentang cerita
yang kini menjadi duri bagiku. Bukan menghapus orang yang ada bersamaku di file
itu, hanya kisah antara kami perlu di edit dan di-remake. Biar dia
tinggal sebagai orang yang dulu kupercaya mendengar segala desah hatiku, bukan
pemberi gradasi semu membiru.
Aku juga tak ingat betul tentang siapa yang membiarkan
ikatan yang kini kusesali ini terjalin, menjadi erat, dan kemudian lapuk
merenggang. Yang tinggal di ingatanku hanya diriku yang bodoh ini mengiyakan saja
ketika ia mulai menebar pukat.
Dalam tanggalan yanga ada di ponsel dan kamar, kulingkari
dengan pena merah mudaku. Inginnya aku selalu merayakan hari manis yang diluar
dugaanku terkikis juga oleh ikatan antara kami yang kian semrawut. Aku tidak
munafik, sebenarnya masih ada saja perasaan ingin bersama-sama lagi. Tapi ini
bukan negeri dongeng dengan peri yang selalu mengabulkan permintaan tuan
putrinya. Yang harus sadar adalah aku, yang harus bangkit adalah aku, jika
tidak maka aku yang menjadi debu terkikis luka yang aku gores sendiri.
Aku mulai tersadar ketika timbul dalam diriku rasa benci
untuk pulang. Hatiku sudah direngkuh oleh kota rantau ini. Lagi-lagi ini kubuat
sendiri. Aku benci merindukanmu dan berharap melepas rindu di kota kecil tempat
kita harusnya berpulang. Namun, selusur kota ini kulalui sendiri sembari muncul
kembali kenangan setiap waktunya, saat masih kita bisa semaunya bersua.
Banyak yang mengatakan wanita adalah ahli sejarah. Aku
salah satu dari mereka.
Tentang semua yang kita, tidak, kau dan aku rencanakan
dulu. Semua masih lekat di ingatanku, tidak setitik komapun terlupa. Kau yang
sangat ingin merasakan sensasi kecanduan oleh romansa drama-drama korea, ingin
menyaksikannya bersama denganku agar kau tak lagi aku acuhkan untuk 20 episode
yang dipastikan menyita fokusku. Dihari hujan di tanah lapang kota tempat kita
berjanji untuk bersama dan saling memiliki satu sama lain kau juga ada kemauan
datang lagi denganku sembari menyantap jagung serut dengan asap yang mengepul
wangi dengan topping keju susu. Di akhir minggu ketika kita pulang dari
lelah berjuang di tanah orang kau juga menginginkan pergi ke gedung bioskop
melatih pupil kita ditengah gelap menonton film, film apa saja. Hhhhh.... cukup
banyak bukan? Tapi sudahlah, aku tidak terluka ketika menceritakan ini. Itu
adalah rencana, boleh saja tidak terrealisasi.
0 komentar:
Posting Komentar